A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketika pertama kali di dirikan pada
tahun 1945, struktur parlemen Negara di Indonesia di idealkan berkamar tunggal
(unikameral) tetapi dengan variasi yang dikaitkan dengan teori kedaulatan
rakyat yang dibayangkan dapat di organisasikan secara total ke dalam suatu
organ bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis ini dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat tersebut,
sehingga diidealkan menjadi lembaga tertinggi dalam pembangunan organisasi
negara[1].
Sebagai majelis tertinggi dalam suatu
negara, maka majelis ini mempunyai tugas dalam hal kenegaraan. Kewenangan
majelis ini diantaranya menetapkan UUD, menetapkan haluan negara, dan memilih
Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, Presiden berada di bawah MPR,
menjalankan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR[2]. Struktur
perlemen Indonesia menjadi bersifat bikameral hanya terjadi ketika Indonesia
menerima ide pembentukan negara serikat di bawa konstitusi RIS Tahun 1949.
Dalam Konstitusi RIS, selain Dewan perwakilan Rakyat yang diatur dalam Bab III
pasal 98 sampai dengan Pasal 121, juga di tentukan ada senat yang diatur dalam
Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97[3].
Banyak pokok pikiran baru yang diadopsi
di dalam UUD 1945 diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya cita demokrasi dan
nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara kontemporer; (b)
pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks
and balances” (c) pemurnian sistem presidensil; dan (d) penguatan cita
persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia[4].
Indonesia
merupakan salah satu Negara yang memiliki berbagai pengalaman tentang
demokrasi. Hingga saat ini Indonesia telah menerapkan tiga jenis demokrasi
yaitu presidensial, terpimpin, dan parlementer. Dari ketiga jenis demokrasi ini
yang menjadi pembuka lembaran sejarah indonesia adalah demokrasi parlementer
yang dijabarkan dalam pelaksanaan pada masa pasca revolusi kemerdekaan (1945-1959).
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1999 telah menyebabkan banyak perubahan di negeri ini, termasuk terhadap
sistem dan praktik ketatanegaraan ini. Setiap gagasan akan perubahan tersebut
sudah dituangkan dalam amandemen I sampai dengan IV UUD 1945.
Perubahan-perubahan tersebut juga turut mempengaruhi struktur organ-organ
negara sehingga tidak dapat lagi di dijelaskan menurut cara berpikir lama (UUD
1945 pra amandemen)[5].
Perubahan tersebut tidak terjadi
seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat
maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR selain
memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama
reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan
mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di Negara-negara lain khususnya di
negara yang menganut paham demokrasi. Salah satu perubahan penting adalah
dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah
dari sistem unikameral ke sistem bikameral[6].
Pelaksanaan sistem bikameral di
indonesia tidak terlaksana dengan baik dikarenakan oleh suatu sistem
pemerintahan yang tidak pasti. Untuk itu dalam penulisan karya tulis ilmiah ini
penulis akan mencoba menjelaskan sedikit sistem pemerintahan di indonesia
sebelum membahas tentang sistem pemerintahan parlementer yang menganut sistem
bikameral.
Dengan adanya berbagai latar belakang yang
telah dipaparkan maka penulisan karya tulis ini memfokuskan pada pembahasana
tentang sistem pemerintahan dan pelaksanaan bikameral (dua kamar) di indonesia.
Rumusan masalah
Dari berbagai penjelasan latar belakang
diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.
Bagaiamana
pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia ?
2.
Bagaimana
pelaksanaan sistem bikameral (dua kamar) dalam sistem pemerintahan di Indonesia
?
B. PEMBAHASAN
1.
Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Di Indonesia
Konsep sistem pemerintahan Indonesia dipenggal
(secara analitik divergen) menjadi ”pemerintahan Indonesia” yang ditinjau dari sudut
sistem, maka jelas akan berbeda artinya dengan pengertian ”sistem pemerintahan”
yang dianut atau dilaksanakan di Indonesia. Dari pengertian inilah tercermin
bahwa ruang lingkup sistem pemerintahan tersebut.
Menurut Sri Soemantri pengertian sistem
pemerintahan adalah sistem hubungan antara organ eksekutif dan organ legislatif
(organ kekuasaan legislatif)[7].
Selanjutnya sistem pemerintahan adalah suatu sistem hubungan kekuasaan antar
lembaga negara. Sistem pemerintahan dalam arti sempit ialah sistem hubungan
kekuasaan antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif. Dalam hal ini, sistem
pemerintahan dalam arti luas adalah sistem hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga
negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sistem pemerintahan dalam arti luas inilah yang dimaksud dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia[8].
Kemudian Rukmana Amanwinata[9]
menyatakan bahwa sistem pemerintahan adalah hubungan antara kekuasaan eksekutif
di satu pihak dengan kekuasaan legislatif di lain pihak. Eksekutif dalam
konteks di atas adalah eksekutif dalam arti sempit yaitu menunjuk kepada kepala
cabang kekuasaan eksekutif atau the supreme head of the executive
departement. Apabila dihubungkan dengan UUD 1945, yang dimaksud dengan kepala
cabang kekuasaan eksekutif tersebut adalah Presiden selaku kepala pemerintahan sebagaimana
ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden
Indonesia memegang Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Senada dengan pendapat Rukmana
Amanwinata di atas, Bagir Manan[10] mengungkapkan
pula bahwa sistem pemerintahan adalah suatu pengertian (begrip) yang berkaitan
dengan tata cara pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan (eksekutif) dalam
suatu tatanan negara demokrasi. Dalam negara demokrasi terdapat prinsip geen
macht zonder veraantwoordelijkheid (tidak ada kekuasaan tanpa satu pertanggungjawaban).
Dengan adanya berbagai pengertian sistem pemerintahan dari para pakar maka
dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan adalah bicara tentang corak
hubungan eksekutif-legislatif. Defenisi sistem pemerintahan ini disebut dalam
arti sempit. Sebab apabila bicara tentang hubungan lembaga-lembaga Negara yang
lain selain eksekutiflegislatif namanya sudah sistem ketatanegaraan atau sistem
pemerintahan dalam arti luas.
Dalam teori Hukum Tata Negara dikenal
dua bentuk sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan presidensiil (presidensial). Tetapi dalam praktek ada juga dikenal
sistem pemerintahan campuran yang disebut sistem parlementer tidak murni atau
presidensiil tidak murni[11]. Bahkan
untuk kasus Indonesia pra amandemen UUD 1945, Padmo Wahyono menamakannya dengan
“sistem MPR” yang mempunyai kelainan baik dari sistem presidensiil, parlementer
maupun sistem parlementer/presidensiil tidak murni[12].
Suatu sistem pemerintahan disebut sistem
pemerintahan parlementer[13] apabila eksekutif
(pemegang kekuasaan eksekutif) secara langsung bertanggung jawab kepada badan
legislatif (pemegang kekuasaan legislatif). Atau dengan kata-kata Strong: is
it immediately responsible to parlement, artinya kelangsungan
kekuasaan eksekutif tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas suara di
badan legislatif. Setiap saat eksekutif kehilangan dukungan mayoritas dari para
anggota badan legislatif (misalnya, karena adanya mosi tidak percaya),
eksekutif akan jatuh dengan cara mengembalikan mandat kepada Kepala Negara
(Raja/Ratu/Kaisar atau Presiden).
Menurut C.F. Strong, dalam sistem the
parliamentary executive terdapat lima karakteristik, yaitu[14]:
“...the political conception of the
Cabinet as a body necessarily consisting :
1.
of members of
the Legislature;
2.
of the same
political views, and chosen from the party possessing a majority in the House
of Commons;
3.
prosecuting a
concerted policy;
4.
under a common
responsibility to be signified by collective resignation in the
event of parliamentary censure, and
5. acknowledging
a common subordination to one chief minister.
Secara
sederhana, sistem pemerintahan parlementer murni dapat digambarkan sebagai
berikut[15]:
Gambar 1 :
Sistem Pemerintahan Parlementer Murni
Sistem pemerintahan parlementer merupakan suatu
sistem pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada
parlemen. Dalam sistem pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang
besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif.
Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen,.
Sistem presidensiil adalah sistem pemerintahan di
mana eksekutif tidak bertanggung jawab pada badan legislatif. Pemegang
kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh atau melalui badan legislatif
meskipun kebijaksanaan yang dijalankan tidak disetujui oleh pemegang kekuasaan
legislatif. Terdapat beberapa karakteristik sistem pemerintahan presidensiil
atau the non-parliamentary or the fixed executive menurut C.F. Strong
dan Alan R. Ball menyebutnya sebagai the presidensial types of government,
yaitu[16] :
1. The
president is both nominal and political head of state;
2. The
presiden is elected not by the legislature, but directly by the total electorate
(the Electoral College in the United States is a formality, and is likely to
disappear in the near future). The presiden is not part of the legislature, and
he cannot be removed from effice by the legislature except through rare legal impeachment;
3. The
presiden cannot disolve the legislature and call a general election. Usually
the president and the legislature are elected for fixed terms.
Sistem pemerintahan
presidensial murni dapat dilihat pada gambar 2 adalah sebagai berikut[17]:
Gambar 2 :
Sistem Pemerintahan Presidensial Murni
Sistem pemerintahan presidensial atau disebut juga dengan sistem
kongresional adalah sistem pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif
memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan
secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih
oleh rakyat secara terpisah. Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga
pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of
power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu.
Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang
lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri
adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.
Seperti dikatakan di atas bahwa dalam praktek ada juga dikenal sistem pemerintahan
campuran yang disebut sistem parlementer tidak murni atau presidensial tidak
murni atau dikenal dengan nama kuasi parlementer atau kuasi presidensial. Dalam
sistem ini, presiden mempunyai kekuasaan untuk membubarkan legislatif jika bertentangan
dengan konstitusi. Sebaliknya bila presiden melanggar UUD, legislatif pun dapat
menjatuhkan presiden. Bentuk sederhana dari mekanisme sistem pemerintahan kuasi
ini adalah sebagai berikut[18]:
Gambar 3 :
Sistem Pemerintahan Campuran
(Kuasi Parlementer/Kuasi Presidensial)
Sistem kuasi ini pada hakekatnya merupakan bentuk variasi dari sistem
pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Apabila dilihat
dari kedua sistem pemerintahan diatas (parlementer dan presidensial), sistem
pemerintahan kuasi bukan merupakan bentuk sebenarnya. Pada sistem pemerintahan
kuasi presidensial lebih menonjolkan cirri atau unsur dari sistem
presidensialnya dibanding dengan sistem parlementer, begitupun sebaliknya
sistem pemerintahan parlementer lebih menonjolkan cirri atau unsur sistem
parlementernya.
Dengan adanya berbagai penjelasan dari
bentuk-bentuk sistem pemerintahan yang telah dipaparkan diatas maka dapat
katakana bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem
pemerintahan campuran. Hal ini dapat dilihat dari sistem demokrasi di indonesia
yang menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution/divisions of power)
bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). Dimana mekanisme pembagian
kekuasaan telah diatur sepenuhnya dalam UUD 1945. Penerapan pembagian kekuasaan
di indonesia terdiri atas dua bagian diantaranya pembagian kekuasaan secara
horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal.
Pembagian kekuasaan secara horizontal
yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu (legislatif,
eksekutif dan yudikatif). Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
secara horizontal pembagian kekuasaan negara di lakukan pada tingkatan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Pembagian kekuasaan pada tingkatan
pemerintahan pusat berlangsung antara lembaga-lembaga negara yang sederajat.
Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintahan pusat mengalami pergeseran
setelah terjadinya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang
umumnya terdiri atas tiga jenis kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
menjadi enam kekuasaan negara, yaitu:
1. Kekuasaan
konstitutif, yaitu kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar.
2. Kekuasaan
eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan penyelenggraan
pemerintahan Negara. Kekuasaan ini dipegang oleh Presiden sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar.
3. Kekuasaan
legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Kekuasaan ini
dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20
ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
4. Kekuasaan
yudikatif atau disebut kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ini
dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
5. Kekuasaan
eksaminatif/inspektif, yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
6. Kekuasaan
moneter, yaitu kekuasaan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan
nilai rupiah. Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral
di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 D UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara memiliki suatu bank sentral
yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepedensinya diatur
dalam undang-undang.
Pembagian kekuasaan secara horizontal
pada tingkatan pemerintahan daerah berlangsung antara lembaga-lembaga daerah
yang sederajat, yaitu antara Pemerintah Daerah (Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada tingkat provinsi,
pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah provinsi (Gubernur/wakil
Gubernur) dan DPRD provinsi. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, pembagian
kekuasaan berlangsung antara Pemerintah Kabupaten/Kota (Bupati/wakil Bupati
atau Walikota/wakil Walikota) dan DPRD kabupaten/kota.
Sedangkan Pembagian kekuasaan secara
vertikal merupakan pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, yaitu pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan. Pasal 18 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
pembagian kekuasaan secara vertikal di negara Indonesia berlangsung antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota). Pada pemerintahan daerah berlangsung pula
pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan oleh pemerintahan pusat.
Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota terjalin
dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam
bidang administrasi dan kewilayahan.
Pembagian kekuasaan secara vertikal
muncul sebagai konsekuensi dari diterapkannya asas desentralisasi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan
wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan di
daerahnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18
ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
2.
Pelaksanaan Sistem Bikameral (dua kamar) Dalam
Sistem Pemerintahan Di Indonesia
Banyak pemahaman yang sering kali
mendefenisikan bahwa fungsi legislasi hanya terkait dengan fungsi pembuatan
undang-undang dalam arti yang sempit. Karena itu, yang sering dipahami sebagai
lembaga legislatif berdasrakan UUD 1945 pasca reformasi hanya DPR dan DPD saja.
Pemahaman ini yang membawa pada pemahaman yang selanjutnya mengatakan bahwa
lembaga yang mempunyai kewenangan langsung di bidang pembuatan undang-undang
hanyalah DPR, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai “advisory council” terhadap
fungsi DPR[19]. Lebih lanjut lagi,
Montesquieu menjelaskan bahwa fungsi legislatif berkaitan dengan semua kegiatan
yang dengan mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan
Negara. Inilah yang disebut sebagai legislature atau fungsi legislatif[20].
Pelembagaan fungsi legislatif inilah
yang disebut dengan parlemen. Dalam praktek di berbagai Negara ada yang
melembagakannya dalam satu forum saja (unicameral/monocameral),
dan ada pula yang dua forum (bicameral),
bahkan ada pula yang mempunyai struktur parlemen multikameral yang terdiri lebih
dari dua institusi. Di Indonesia sendiri mempunyai tiga institusi atau tiga
forum parlemen yaitu DPR, DPD, dan MPR. Dimana DPR merupakan lembaga perwakilan
politik (political representation),
DPD merupakan perwakilan daerah (regional
representation), sedangkan MPR
merupakan penjelmaan dari keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun
kedaerahan[21].
DPR berfungsi untuk membentuk
undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undanga,
sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Sementara itu,
Montesquieu, pembentukan undang-undang dasar juga dinamakan legislasi. Mengacu
dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa struktur parlemen di Indonesia dewasa
ini terdapat tiga forum parlemen. Oleh karena itu, struktur parlemen di
Indonesia saat ini sebagai parlemen trikameral. Dengan demikian bahwa adanya
MPR, DPR, DPD dalam sistem ketatanegaraan indonesia berdasarkan UUD 1945
merupakan kesatuan kelembaganaan parlemen Indonesia yang mempunyai tiga forum
perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai
kebijakan Negara berdasarkan UUD 1945[22].
Sejumlah kewenangan konstitusional dalam
pasal 22D UUD 1945, secara teknis operasional ditindak lanjuti melalui
pemberlakuan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika
kita melihat UU No. 27 Tahun 2009 (UU MD3) maka fungsi DPD dan domain serta
kewenangan yang dimiliki oleh DPD pada dasarnya sama. Selanjutnya fungsi DPD secara
kelembagaan[23] diantaranya (a)
mengajukan usulan kepada DPR mengenai RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
(b) ikut serta dalam pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, (c) memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN serta RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama; dan (d) melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang. Selain dari keempat fungsi yang telah dipaparkan, DPD juga
mempunyai tugas dan kewenangan diantaranya: menyampaikan hasil pengawasan, memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK, dan ikut serta dalam
penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah.
Kewenangan yang dimiliki oleh DPD terbatas
pada isu-isu sebagaimana ketentuan dalam pasal 22D UUD 1945 Jo UU P3 dan UU
MD3. Seharusnya UU P3 dan UU MD3 memberikan ruang yang setara dengan
DPR/Presiden mengenai mekanisme pembahasan secara integratif yang mempertemukan
badan legislasi DPR dengan panitia perancang undang-undang DPD dalam kaitan
penyusunan Prolegnas. Namun, dalam penyusunan prolegnas dikoordinasikan oleh
DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi yakni
badan legislasi (Baleg) DPR.
Secara kelembagaan DPD, posisinya tidak
jauh berbeda dengan posisi para anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi mempunyai hak yang sama.
Berdasarkan berbagai penjelasan yang
telah dipaparkan, maka guna membangun princip cheks and balances lembaga
perwakilan rakyat Indonesia harus melakukan perubahan secara menyeluruh
terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak membatasi peran DPD. Dalam pola
legislasi saat ini, DPD tidak mampu mengartikulasikan kepentingan politik
daerah dalam setiap proses pembuatan keputusan terutama dalam membuat
undang-undang yang berkaitan langsung dengan daerah. Pada konteks sistem
pemerintahan presidensial penataan fungsi legislasi sangat diperlukan karena
presiden memiliki domain yang cukup besar dalam proses legislasi.
Oleh karenanya dalam menata fungsi legislasi
diperlukan tidak hanya pada penguatan fungsi legislasi DPD semata tetapi jugq
dengan membatasi peran/keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Dengan
melakukan furifikasi dalam sistem presidensial, maka mekanisme cheks and
balance dalam pembahasan undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD.
Mekanisme cheks and balances akan sulit
terbangun secara equal antara dua kamar (DPR dan DPD) jika penguatan sistem
bikameral (strong bicameral) tidak
dilakukan. Dimana dalam dimensi politik legislasi, DPD seharusnya diberikan
ruang yang setara dengan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR. Hal ini
perlu dilakukan guna mengakomodasi terwujudnya kepentingan daerah melalui
lembaga perwakilan yang terbentuk dari perwakilan-perwakilan daerah.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan yang telah dilakukan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
ketidakjelasan pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia sebagai dasar atas permasalahan
yang menggeluti Negara ini. Hal ini dapat terlihat jelas dimana UUD 1945 tidak
serta merta melaksanakan sistem pemerintahan parlementer secara murni atau
sistem pemerintaha presidensial murni. Walaupun banyak yang memahami bahwa UUD
1945 mensyarakat pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial. Ketidakjelasana
tersebut dapat dilihat dari berbagai penjelasan diantaranya adalah bentuk sistem pemerintahan parlementer murni, sistem
pemerintahan presindesial murni, dan sistem pemerintahan campuran. Dimana
sistem pemerintahan parlementer mengatakan bahwa kekuasaan penuh berada pada
parlemen (lembaga legislatif) dikarenakan lembaga legislatif memiliki
kewenangan yang berasal dari rakyat dan jika sewaktu-waktu presiden melakukan
pelanggaran secara konstitusi maka lembaga legislatif akan melakukan
pemberhentian terhadap presiden. Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan
presisensial, dimana kedua lembaga penyelenggara pemerintahan dalam hal ini
adalah eksekutif (presiden) dan legislatif mendapatkan kewenangannya yang
sama-sama berasal dari rakyat. Walaupun kedua lembaga tersebut mendapatkan
kewenangannya dari rakyat akan tetapi dalam konstek hubungan kerja presiden
tidak bertanggungjawab pada lembaga legislatif tetapi bertanggung jawab kepada
rakyat dimana presiden mandapatkan kewenangannya. Sedangkan dalam sistem
pemerintahan campuran kedua lembaga penyelenggara pemerintahan dapat melakukan
impeachment jika salah satu lembaga tersebut melakukan kesalahan dalam
melaksanakan konstitusi. Sistem ini juga dapat dikatakan bukan sebuah sistem
yang baku/sebenarnya karena sistem campuran dalam konteks pelaksanaannya dimana
jika sistem pemerintahan kuasi presidensial yang
dijalani akan lebih menonjolkan ciri atau unsur dari sistem presidensialnya
dibanding dengan sistem parlementer, begitupun sebaliknya sistem pemerintahan parlementer
lebih menonjolkan ciri atau unsur sistem parlementernya.
Ketidakjelasan pelaksanaan sistem pemerintahan yang
dilaksanakan di Indonesia berimplikasi pada pelaksanaan sistem bikameral di
lembaga legislatif. Hal ini dapat dilihat sistem pelaksanaan cheks and
balances yang lemah, dimana DPD
tidak mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah dalam setiap proses
pembuatan keputusan terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung
dengan daerah karena presiden memiliki domain yag cukup besar dalam proses
legislasi. Mekanisme cheks and balances
akan sulit terbangun secara equal antara dua kamar (DPR dan DPD) jika penguatan
sistem bikameral (strong bicameral)
tidak dilakukan. Dimana dalam dimensi politik legislasi, DPD seharusnya
diberikan ruang yang setara dengan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR.
Hal ini perlu dilakukan guna mengakomodasi terwujudnya kepentingan daerah
melalui lembaga perwakilan yang terbentuk dari perwakilan-perwakilan
daerah.
Saran
1.
Perlu dilakukan
perubahan yang signifikan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan yang jelas di Indonesia, apakah menganut sistem pemerintahan presidensial murni ataukah
sistem parlementer murni. Serta perlu juga dilakukan konsep yang jelas dalam
pembagian tugas dan kewenangan dalam kontek pemisahan kekuasaan. Karena dalam
hal ini di Indonesia berbicara masalah kekuasaan menganut sistem pembagian
kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan.
2. Perlu dilakukan
sebuah penguatan sistem bikameral dan koordinasi yang intensif secara terpadu
antara DPR, DPD, dan Pemerintahan (presiden) penyiapan penyusunan rancangan
undang-undang yang selanjutnya dibahas secara bersama-sama sebelum menjadi
produk perundang-undangan. Pada sisi yang lain perlu juga dilakukan
revitalisasi peran serta fungsi lembaga DPD dalam melaksanakan fungsi legislasi
yang milikinya.
Daftar Pustaka
Asshiddiqi,
Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar
Demokrasi. Cet.2, (Jakarta. Sinar Grafika, 2012), hlm. 13
“Struktur
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah seminar
pembangunan hukum nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN Dephukham RI,
Denpasar 14-18 Juli 2003, hlm, 2. Dalam jurnal Aritonang.
Lembaga
Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Di Tingkat Pusat, hlm. 1,. Dapat
diakses pada website pribadi Jimly Assiddiqie.
Aritonang,
Dinoroy M. Penerapan Sistem Presidensil
di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jurnal….
Kartasasmita,
Ginanjar. Bikameralisme Di Indonesia. Dewan
Perwakilan Daerah. Jakarta, 2006
Soemantri, Sri. Sistem-sistem Pemerintahan
Negara-negara ASEAN. Bandung : Tarsito, 1976, hlm. 70. Begitu juga pendapat
Bintan R. Saragih bahwa bicara
tentang sistem pemerintahan selalu mengaitkan lembaga eksekutif dengan lembaga
legislatif, walaupun istilah untuk lembaga eksekutif dan legislatif sering
tidak sama di masing-masing negara, lihat Bintan, Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1992, hlm 6. Selanjutnya Bagir Manan mengambil pengertian
sistem pemerintahan ini sebagai sesuatu yang lazim dipergunakan dalam Hukum
Tata Negara yaitu hal-hal yang menyangkut corak hubungan antara badan
legislatif dengan badan eksekutif, lihat Bagir Manan, Pertumbuhan dan
Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, 1995,
hlm. 75.
Perkembangan
Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 1945, dalam buku
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan
Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Malang : Asosiasi
Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur kerja sama dengan In-Trans, Februari 2004, hlm.
293.
Amanwinata,
Rukmana. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Sosial Politik DIALEKTIKA
Vol. 2 No. 2-2001, hlm. 20
Manan, Bagir. Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : PSH FH UII, 2001, hlm 250.
Strong, C.F.
menyebutnya the parliamentary executive dan Alan R. Ball menyebutnya the
parliamentary types of government, lihat Rukmana ... Op. Cit., hlm. 20.
Modern Political Constitutions, Perbanyakan
Fakultas Hukum Unpad, 1973, hlm. 111.
Undang-Undang
No. 27 Tahun 2009 Pasal 223 Tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD (UU MD3)
[1] Jimly Asshiddiqi, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi.
Cet.2, (Jakarta. Sinar Grafika, 2012), hlm. 13
[2] Ibid.,
[3] Ibid., hlm. 15
[4] Jimly
Assiddiqi, “Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah seminar pembangunan
hukum nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN Dephukham RI, Denpasar 14-18
Juli 2003, hlm, 2. Dalam jurnal Aritonang.
[5] Dinoroy M. Aritonang. Penerapan Sistem Presidensil di Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945. Jurnal….
[6] Ginanjar Kartasasmita. Bikameralisme Di Indonesia. Dewan
Perwakilan Daerah. Jakarta, 2006
[7] Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN.
Bandung : Tarsito, 1976, hlm. 70. Begitu juga pendapat Bintan R. Saragih bahwa bicara tentang sistem pemerintahan selalu mengaitkan
lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, walaupun istilah untuk lembaga
eksekutif dan legislatif sering tidak sama di masing-masing negara, lihat
Bintan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta : Gaya Media Pratama,
1992, hlm 6. Selanjutnya Bagir
Manan mengambil pengertian sistem pemerintahan ini sebagai sesuatu yang
lazim dipergunakan dalam Hukum Tata Negara yaitu hal-hal yang menyangkut corak
hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif, lihat Bagir Manan, Pertumbuhan
dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju,
1995, hlm. 75.
[8] Sri Soemantri
M, Perkembangan Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Pasca Amandemen 1945, dalam buku Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi, Malang : Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur kerja
sama dengan In-Trans, Februari 2004, hlm. 293.
[9]
Rukmana Amanwinata, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Sosial Politik
DIALEKTIKA Vol. 2 No. 2-2001, hlm. 20
[10] Bagir Manan, Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : PSH FH UII, 2001, hlm 250.
[11]
Bintan R. Saragih, Majelis
Permusyawaratan … Op. Cit., hlm. 7.
[13] C.F. Strong menyebutnya the
parliamentary executive dan Alan R. Ball menyebutnya the parliamentary types
of government, lihat Rukmana ... Op. Cit., hlm. 20.
[14]
C.F.
Strong, Modern Political Constitutions, Perbanyakan Fakultas Hukum
Unpad, 1973, hlm. 111.
[15] Bintan, Majelis ...Op. Cit.,
hlm. 8.
[16]
Rukmana, Sistem ...Op.
Cit., hlm. 22.
[17]
Bintan, Majelis ...Op.
Cit., hlm. 8.
[18]
Ibid.,
[19] Jimly Assiddiqie, Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan
Rakyat Di Tingkat Pusat, hlm. 1,. Dapat diakses pada website pribadi Jimly
Assiddiqie.
[20] Ibid.,
[21] Jimly Assiddiqie, Op,Cit, hlm 2.
[22] Ibid., hlm. 4
[23] Pasal 223 UU No. 27 Tahun 2009
Tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD (UU MD3)